Kerupuk Kluntung Pasinan, Cita Rasa Warisan Lokal yang Kini Naik Kelas dan Berbadan Hukum Didampingi Mahasiswa KKN UNTAG

Mahasiswa KKN Untag Banyuwangi Kelompok 14 bersama Ibu Sunaiyah

Selama puluhan tahun, warga Dusun Pasinan, Desa Singojuruh, Banyuwangi, terus menjaga satu tradisi kuliner lokal yang unik: Kerupuk Kluntung. Camilan gurih ini bukan sekadar makanan ringan, tapi simbol semangat dan kearifan lokal yang diwariskan lintas generasi. Di balik rasanya yang khas, tersimpan cerita panjang tentang ketekunan, kreativitas tangan, dan cinta pada warisan budaya.

Kerupuk Kluntung memiliki bentuk yang tak seragam. Setiap helainya menggambarkan keunikan tangan pembuatnya. Tidak ada cetakan mesin, tidak ada ukuran pasti. Semua dibentuk manual oleh para pengrajin. “Kerupuk ini seperti hasil karya seni,” ujar seorang warga. Proses ini memberi nilai lebih, tak hanya pada rasa, tapi juga pada estetika dan identitas produk.

Bahan utamanya sederhana: tepung beras, bawang putih, garam, dan sedikit penyedap rasa. Namun, proses pembuatannya menuntut ketelatenan tinggi. Setelah dikukus setengah matang, adonan diuleni tangan, kemudian digulung satu per satu dengan bambu kecil. Setiap tangan menghasilkan bentuk yang berbeda-beda—ada yang rapat, longgar, tipis, atau tebal.

“Kalau tangan saya, sudah terbiasa bikin yang tipis-tipis,” kata Ibu Sunaiyah (49), salah satu pengrajin senior di Pasinan. “Lebih renyah kalau digoreng, dan anak-anak suka. Saya dulu belajar dari kakak saya, waktu saya masih gadis. Sekarang saya teruskan, kadang anak saya ikut bantu juga.” Ia sudah menggeluti usaha ini sejak tahun 2000 dan menjadi salah satu ikon Kluntung di desanya.

Setelah proses penggulungan, kerupuk dikukus ulang, lalu dijemur di bawah matahari selama satu hingga dua hari. Baru setelah kering, kerupuk bisa digoreng atau dikemas. Proses ini memang memakan waktu, tapi rasa yang dihasilkan sepadan. Tidak ada kerupuk pabrik yang bisa menandingi kelezatannya.

Selama bertahun-tahun, kerupuk Kluntung hanya dijual di sekitar desa, dalam plastik polos tanpa label. Penjualannya hanya mengandalkan kenalan dan kekuatan rasa. Namun, keterbatasan ini membuat produk tidak bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Di sinilah kehadiran Mahasiswa KKN Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi pada tahun 2025 menjadi titik balik penting.

“Kami ingin ibu-ibu ini tahu bahwa mereka sebenarnya sudah punya usaha yang luar biasa. Tinggal selangkah lagi untuk bisa lebih maju, yaitu lewat legalitas,” ujar Firgo Candra, Mahasiswa Fakultas Hukum Untag yang memimpin program pendampingan UMKM. Melalui dialog dan kunjungan rumah, para mahasiswa membantu warga memahami pentingnya Nomor Induk Berusaha (NIB).

Kerupuk Kluntung Pasinan

Dengan penuh kesabaran, para mahasiswa membantu warga mendaftar ke sistem OSS (Online Single Submission), mengisi data usaha, hingga mencetak NIB. “Awalnya bingung dan ragu,” ujar Ibu Sunaiyah. “Tapi anak-anak ini sabar banget ngajarin. Sekarang saya sudah punya NIB sendiri.” Kini, usaha kerupuk Kluntung yang dulu rumahan, mulai naik kelas sebagai UMKM yang sah secara hukum.

Legalitas ini membuka peluang besar. Kerupuk Kluntung kini bisa ikut serta dalam pameran desa, bazar kecamatan, bahkan masuk ke toko oleh-oleh lokal. Lebih dari sekadar dokumen, NIB menjadi simbol perubahan. Kerupuk Kluntung bukan lagi hanya camilan lokal, tapi sudah jadi produk yang punya prospek cerah di pasar modern.

Di tengah perubahan ini, nilai-nilai tradisi tetap dijaga. Prosesnya masih manual, cita rasanya masih asli. Tapi kini, tradisi itu punya sayap untuk terbang lebih jauh. Kerupuk Kluntung Dusun Pasinan adalah bukti nyata bahwa warisan budaya bisa tetap hidup—asal ada semangat menjaga dan keberanian untuk berkembang.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *